Setiap kali
bulan Rabi‘ul Awwal datang, jagat maya dan dunia nyata sering kembali riuh. Ada
yang semangat menggelar peringatan Maulid Nabi ﷺ dengan penuh cinta dan syukur, tapi ada juga yang tegas menolak
dengan alasan itu bid‘ah yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah. Dua kubu ini
sama-sama mengaku mencintai Nabi, tapi cara mengekspresikannya berbeda, bahkan kadang
berujung perdebatan panas di forum, masjid, sampai kolom komentar media sosial.
Pertanyaannya:
kenapa perbedaan ini bisa terjadi? Benarkah Maulid termasuk ibadah yang
berpahala, atau justru amalan yang tertolak?
Tulisan ini
akan membahas akar kontroversi seputar Maulid: titik masalah yang membuat para
ulama berbeda pendapat, kemudian memaparkan argumen dari pihak yang pro maupun
yang kontra, dan pada akhirnya mencoba menyajikan kesimpulan yang adil agar
kita bisa lebih jernih dalam menyikapinya.
Sejarah
Maulid Nabi
Menurut imam
as-Suyuthi dan beberapa ulama lainnya mengatakan Maulid pertama kali diadakan
oleh khalifah Mudhaffar Abu Said pada tahun 630 H. Saat itu, Mudhaffar sedang
berpikir tentang cara bagaimana negerinya bisa selamat dari kekejaman Temujin
yang dikenal dengan nama Jengiz Khan (1167-1227 M.) dari Mongol. Jengiz Khan,
seorang raja Mongol yang naik tahta ketika berusia 13 tahun dan mampu mengadakan
konfederasi tokoh-tokoh agama, berambisi menguasai dunia. Untuk menghadapi
ancaman Jengiz Khan itu Mudhaffar mengadakan acara Maulid. Dalam acara itu
Mudhaffar mengundang para orator untuk menghidupkan nadi heroisme Muslimin.
Hasilnya, semangat heroisme Muslimin saat itu dapat dikobarkan dan siap menjadi
benteng kokoh Islam.
Pengambilan
Dalil (Istidlal) Beberapa Ulama
Sebagaimana
kita ketahui bahwasanya maulid Nabi Muhammad SAW baru muncul pada abad ke 6
Hijriah di masa Mudzaffar. Maka perayaan ini mengundang kontraversi diantara
para ulama. Beberapa ulama menyatakan bahwa Maulid adalah bid'ah yang terlarang
karena tidak memiliki dasar dalam sunnah Rasulullah dan khulafa al-rasyidin,
sementara yang lain menganggapnya sebagai bentuk ekspresi cinta kepada Nabi dan
sarana mempererat ukhuwah Islamiyah.
Lalu bagaimana
pengambilan dasar yang tepat untuk mengadakan peringatan kelahiran Nabi SAW?
Apakah kemudian peringatan maulid nabi benar-benar haram dan bid‟ah yang munkar
dan harus dihentikan? Jawabnya tentu tidak. Perayaan maulid sebagai hal bid‟ah
(hal baru yang belum dicontohkan oleh rasulullah dan sahabat) merupakan
kategori bid‟ah hasanah. Dan perlu digaris bawahi bahwa merayakan maulid
bukanlah suatu kewajiban agama apalagi bentuk peribadatan.
Mayoritas ulama
sejak dahulu telah mengakui adanya bid‟ah hasanah. Misalnya pendapat Imam
asy-Syafi‟I yang mengatakan bahwa ada dua macam bid‟ah: bid‟ah yang menyalahi
al-Qur‟an, Sunnah, atsar atau ijma‟, maka disebut bid‟ah dhalalah (tersesat),
dan bid‟ah dalam kebaikan yang tidak menyalahi hal tersebut, maka disebut
bid‟ah hasanah.
Selanjutnya,
dalam menjawab tuntutan dalil kebolehan merayakan maulid, maka cukup kiranya
dengan merujuk kepada beberapa pendapat para ulama berikut ini.
a.
As-Suyuthi mengatakan :
“Menurut saya, bahwa pada dasarnya peringatan maulid- yang terdiri dari
berkumpulnya orang-orang, lalu membaca beberapa ayat al-Qur‟an, kemudian
membacakan tentang permulaan kisah hidup Nabi SAW, kejadian-kejadian seputar
kelahiran beliau, lalu dihidangkan makanan kepada mereka, lalu setelah itu
mereka membubarkan diri, tidak lebih dari itu- hal itu adalah bid‟ah hasanah
yang diberi pahala atas orang yang melakukannya. Hal itu karena di dalamnya terkandung
penghormatan kepada Nabi SAW dan usaha menampakkan kegembiraan dengan kelahiran
beliau yang mulia.
b.
Ibnu Hajar
al-„Asqalani Masih Dalam kitab al-Hawi lil fatawi, as-Suyuthi mengatakan bahwa
Ibnu Hajar al- „Asqalani mempunyai dalil yag kuat terkait maulid. Ibnu hajar
mendasarkan perayaan maulid kepada hadits Bukhari dan Muslim yang menceritakan
bahwa ketika Nabi Muhammad SAW datang ke Madinah, ia dapati orang yahudi
berpuasa pada tanggal 10 Muharram. Maka nabi bertanya kepada mereka tentang hal
itu. Mereka menjawab: “ini adalah hari dimana Allah menenggelamkan Fir‟aun dan
menyelamatkan Musa AS. Maka kami berpuasa untuk mengungkapkan rasa syukur
kepada Allah.” Lalu Nabi SAW bersabda: “kami lebih berhak terhadap Musa
daripada kalian.” Dari hadits tersebut Ibnu Hajar menyimpulkan kebolehan
melakukan suatu kebaikan sebagai wujud rasa syukur atas karunia Allah pada hari
tertentu baik karena menerima suatu pemberian atau terhindar dari bahaya.
Hingga Ibnu Hajar berkata: “dan nikmat manakah yang lebih agung daripada
kelahiran Sang Nabi pembawa rahmat pada hari itu?”
Selain itu,
Muhammad bin Alawi al-Maliki dalam kitabnya, Haul al-Ihtifal bi Dzikri al
Maulid an-Nabi asy-Syarif, mengungkapkan alasan dibolehkannya mengadakan
pringatan maulid nabi, yaitu,
a.
Peringatan Maulid Nabi SAW adalah
ungkapan kegembiraan dan kesenangan dengan beliau. Bahkan orang kafir saja
mendapatkan manfaat dengan kegembiraan itu. Ketika Tsuwaibah, budak perempuan
Abu Lahab, paman Nabi, menyampaikan berita gembira tentang kelahiran Muhammad,
Abu Lahab pun memerdekakannya sebagai tanda suka cita. Dan karena
kegembiraannya, kelak di alam baqa‟ siksa atas dirinya diringankan setiap hari
Senin tiba. Demikianlah rahmat Allah terhadap siapa pun yang bergembira atas
kelahiran nabi, termasuk juga terhadap orang kafir sekalipun. Maka jika kepada
seorang yang kafir pun Allah merahmati, karena kegembiraannya atas kelahiran
Sang Nabi, bagaimanakah kiranya anugerah Allah bagi umatnya yang mana iman
selalu ada di hatinya?
b.
Nabi Muhammad SAW sendiri
mengagungkan hari kelahirannya dan bersyukur kepada Allah pada hari itu atas
nikmat-Nya yang terbesar kepadanya.
c.
Peringatan maulid Nabi SAW mendorong
orang untuk membaca shalawat, dan shalawat itu diperintahkan oleh Allah Ta‟ala,
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai
orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuknya dan ucapkanlah salam
sejahtera kepadanya.” (QS Al-Ahzab[33]: 56). Apa saja yang mendorong orang
untuk melakukan sesuatu yang dituntut oleh syariat‟, berarti hal itu juga
dituntut oleh syariat‟. Sangat banyak manfaat dan anugerah yang diperoleh
dengan membacakan salam kepadanya.
d.
Peringatan maulid merupakan ungkapan
jasa beliau dengan menunaikan sebagian kewajiban kita kepada beliau dengan
menjelaskan sifat-sifatnya yang sempurna dan akhlaqnya yang utama. Dulu, di
masa nabi, para penyair datang kepadanya melantunkan qashidah-qashidah yang
memujinya. Nabi ridha (senang) dengan apa yang mereka lakukan dan memberikan
balasan kepada mereka dengan kebaikan-kebaikan. Jika beliau ridha dengan orang
yang memujinya, bagaimana beliau tidak ridha dengan orang yang mengumpulkan
keterangan tentang perangai-perangai beliau yang mulia. Hal itu juga
mendekatkan diri kita kepada beliau, yakni dengan manarik kecintaannya dan
keridhaannya.
e.
Dalam ucapan Nabi SAW tentang
keutamaan hari Jum‟at, disebutkan bahwa salah satu di antaranya adalah, “Pada
hari itu Adam diciptakan,” Hal itu menunjukkan dimuliakan-nya waktu ketika
seorang nabi dilahirkan. Maka bagaimana dengan hari dilahirkannya nabi yang
paling utama dan rasul yang paling mulia?
f.
Tidak semua hal yang tidak pernah
dilakukan para salaf dan tidak ada di awal Islam berarti bid‟ah yang munkar dan
buruk, yang haram untuk dilakukan dan wajib untuk ditentang. Melainkan apa yang
“baru” itu (yang belum pernah dilakukan) harus dinilai berdasarkan dalil-dalil
syariat.
g.
Peringatan maulid nabi, meskipun
tidak ada di zaman Rasulullah SAW, sehingga merupakan bid‟ah,bid’ah disini
adalah bid‟ah hasanah (bid‟ah yang baik), karena ia tercakup di dalam
dalil-dalil syariat dan kaidah-kaidah kulliyyah (yang bersifat global). Jadi,
peringatan Maulid itu bid‟ah jika hanya dipandang bentuknya, bukan
perincian-perincian amalan yang terdapat di dalamnya (sebagaimana terdapat
dalam dalil kedua belas), karena amalan-amalan itu juga ada di masa Nabi.
h.
Semua yang tidak ada pada awal masa
Islam dalam bentuknya tetapi perincian-perincinan amalnya ada, juga dituntut
oleh syariat. Karena apa yang tersusun dari hal-hal yang berasal dari syariat
pun dituntut oleh syariat.
i.
Semua yang disebutkan tentang
dibolehkannya peringatan maulid Nabi SAW secara syariat, hanyalah pada
peringatan-peringatan yang tidak disertai perbuatan-perbuatan mungkar yang
tercela yang wajib ditentang. Adapun jika peringatan maulid mengandung hal-hal
yang disertai sesuatu yang wajib diingkari, seperti bercampurnya laki-laki dan
perempuan, dilakukannya perbuatanperbuatan yang terlarang, dan banyaknya
pemborosan dan perbuatan-perbuatan lain yang tak diridhai, tak diragukan lagi
bahwa itu diharamkan. Tetapi keharamannya itu bukan pada peringatan maulidnya
itu sendiri, melainkan pada hal-hal yang terlarang tersebut.
Alasan Kelompok yang Menolak Peringatan Maulid dan Jawabannya
Beberapa
pernyataan dan tuduhan yang dijadikan alasan menolak perayaan maulid nabi
antara lain:
a.
Hari kelahiran Nabi Muhammad SAW
belum dapat dipastikan pada hari Senin 12 Rabi‟ul Awwal karena adanya perbedaan
pendapat. Sehingga menentukan acara pada 12 Rabi‟ul Awwal tidak ada dasarnya
dari segi historis. Hal ini dijawab oleh Muhammad bin Alawi dengan
perkataannya: “Kami merayakan maulid Nabi Muhammad SAW selalu dan selamanya di
setiap waktu dan disetiap kesempatan yang mana ada kegembiraan, kebahagiaan dan
semangat. Lebihlebih pada bulan kelahirannya.”.
Dalam buku yang sama, ia juga mengatakan bahwa memang sebaiknya
berbuat kebaikan seperti sedekah dan lainnya itu tidak khusus pada hari
kelahiran nabi saja, tetapi di segala waktu dan kesempatan.
b.
Merayakan maulid sama dengan
mengadakan „Id/ hari raya baru selain hari raya, Fithri dan adhha.
Secara bahasa „Id artinya hari raya. Sudah diketahui bahwa hari
raya dalam syari‟at Islam hanya ada dua yaitu Idul fithri dan adhha. Kalaupun
ada selain dua hari itu diistilahkan sebagai “Id” maka hal itu adalah id dalam
arti bahasa. Dan bukan berarti menambahkan hari raya dalam syari‟at Islam.
Dalam hadits riwayat ath-Thabarani Ibnu Abbas mengatakan bahwa QS.
Al-Maidah[5]: 114, itu turun pada dua hari „Id yaitu hari Jumat dan hari
arafah. Tentu di sini kata id adalah dalam arti bahasanya dan bukan hari raya
seperti Idul Fithri dan Idul Adhha
c.
Merayakan maulid sama halnya dengan
menambah-nambahi syari‟at yang sudah sempurna, sehingga bertentangan dengan
firman Allah surat al-Ma`idah [5]:6. Seandainya perayaan maulid itu adalah
suatu kebaikan, niscaya telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.
Alasan ini cacat sebab tidak seorangpun dari kalangan awam maupun
ulama yang berkeyakinan seperti itu. Kemudian tidak setiap hal yang tidak
dilakukan oleh Nabi dan salaf, lalu dilaksanakan oleh generasi setelahnya
merupakan penyempurnaan terhadap agama dan penambahan syari‟at. Jika memang
demikian maka apa gunanya bab ijtihad?
d.
Perayaan maulid adalah bid‟ah sesat
yang diadakan oleh kaum rofidhah/syi‟ah, sebab yang pertama kali merayakan
maulid adalah orang-orang Daulah Fathimiyyah dan mereka ini dari golongan orang
zindiq (atheis), merupakan anak cucu abdullah bin saba‟.
Alasan ini merupakan pengaburan sejarah. Sebagaimana penjelasan yang lewat, bahwa yang mengadakan maulid pertama kali menurut as-Suyuthi dan beberapa ulama adalah Raja Mudzaffar, dan dia adalah orang yang dipuji oleh para ulama tarikh. Bahkan Muhammad bin Alawi berpendapat bahwa yang pertama kali merayakan hari kelahiran adalah justru Nabi Muhammad SAW sendiri. Ini berdasarkaan hadits yang menyatakan bahwa nabi berpuasa pada hari senin karena hari itu adalah hari kelahirannya
Sebenarnya banyak lagi berbagai alasan dan argumen yang digunakan untuk menghapus tradisi yang telah berlangsung berabad-abad ini. Hanya saja sebagian besar diantaranya lebih berdasar atas buruk sangka dan ketidaktahuan akan hakikat perayaan maulid. Sebagian diantaranya malah merupakan tuduhan tanpa fakta. Meskipun tidak dapat dipungkiri kemungkinan adanya sebagian umat islam yang merayakan maulid dengan cara tidak benar. Maka yang perlu diluruskan adalah perbuatan itu dan bukan dengan cara pukul rata masalah.
Kesimpulan dari kontroversi mengenai bid'ah dalam perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW menunjukkan adanya perbedaan pandangan di kalangan umat Islam yang berakar dari interpretasi ajaran Islam yang berbeda. Dalam menggali kontroversi ini, penting bagi umat Islam untuk menghargai perbedaan pendapat dan menjalani dialog yang konstruktif. Meskipun terdapat perbedaan pandangan mengenai perayaan Maulid dan pengertian tentang bid'ah, upaya untuk saling memahami dan menghormati pendapat orang lain adalah langkah penting dalam menjaga persatuan dan keharmonisan L”dalam komunitas Muslim. Dengan demikian, perdebatan ini dapat menjadi sarana untuk memperdalam pemahaman agama dan meningkatkan kecintaan terhadap Nabi Muhammad SAW tanpa mengabaikan prinsip-prinsip dasar Islam.
Daftar
Pustaka