GfY5TUW6BSClGfM9BSClBSzo
  • Default Language
  • Arabic
  • Basque
  • Bengali
  • Bulgaria
  • Catalan
  • Croatian
  • Czech
  • Chinese
  • Danish
  • Dutch
  • English (UK)
  • English (US)
  • Estonian
  • Filipino
  • Finnish
  • French
  • German
  • Greek
  • Hindi
  • Hungarian
  • Icelandic
  • Indonesian
  • Italian
  • Japanese
  • Kannada
  • Korean
  • Latvian
  • Lithuanian
  • Malay
  • Norwegian
  • Polish
  • Portugal
  • Romanian
  • Russian
  • Serbian
  • Taiwan
  • Slovak
  • Slovenian
  • liish
  • Swahili
  • Swedish
  • Tamil
  • Thailand
  • Ukrainian
  • Urdu
  • Vietnamese
  • Welsh
Anda cari apa?

Kontroversi Maulid :Antara Bid’ah Dan Ibadah

Setiap kali bulan Rabi‘ul Awwal datang, jagat maya dan dunia nyata sering kembali riuh. Ada yang semangat menggelar peringatan Maulid Nabi dengan penuh cinta dan syukur, tapi ada juga yang tegas menolak dengan alasan itu bid‘ah yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah. Dua kubu ini sama-sama mengaku mencintai Nabi, tapi cara mengekspresikannya berbeda, bahkan kadang berujung perdebatan panas di forum, masjid, sampai kolom komentar media sosial.

Pertanyaannya: kenapa perbedaan ini bisa terjadi? Benarkah Maulid termasuk ibadah yang berpahala, atau justru amalan yang tertolak?

Tulisan ini akan membahas akar kontroversi seputar Maulid: titik masalah yang membuat para ulama berbeda pendapat, kemudian memaparkan argumen dari pihak yang pro maupun yang kontra, dan pada akhirnya mencoba menyajikan kesimpulan yang adil agar kita bisa lebih jernih dalam menyikapinya.

Sejarah Maulid Nabi

Menurut imam as-Suyuthi dan beberapa ulama lainnya mengatakan Maulid pertama kali diadakan oleh khalifah Mudhaffar Abu Said pada tahun 630 H. Saat itu, Mudhaffar sedang berpikir tentang cara bagaimana negerinya bisa selamat dari kekejaman Temujin yang dikenal dengan nama Jengiz Khan (1167-1227 M.) dari Mongol. Jengiz Khan, seorang raja Mongol yang naik tahta ketika berusia 13 tahun dan mampu mengadakan konfederasi tokoh-tokoh agama, berambisi menguasai dunia. Untuk menghadapi ancaman Jengiz Khan itu Mudhaffar mengadakan acara Maulid. Dalam acara itu Mudhaffar mengundang para orator untuk menghidupkan nadi heroisme Muslimin. Hasilnya, semangat heroisme Muslimin saat itu dapat dikobarkan dan siap menjadi benteng kokoh Islam.

Pengambilan Dalil (Istidlal) Beberapa Ulama

Sebagaimana kita ketahui bahwasanya maulid Nabi Muhammad SAW baru muncul pada abad ke 6 Hijriah di masa Mudzaffar. Maka perayaan ini mengundang kontraversi diantara para ulama. Beberapa ulama menyatakan bahwa Maulid adalah bid'ah yang terlarang karena tidak memiliki dasar dalam sunnah Rasulullah dan khulafa al-rasyidin, sementara yang lain menganggapnya sebagai bentuk ekspresi cinta kepada Nabi dan sarana mempererat ukhuwah Islamiyah.

Lalu bagaimana pengambilan dasar yang tepat untuk mengadakan peringatan kelahiran Nabi SAW? Apakah kemudian peringatan maulid nabi benar-benar haram dan bid‟ah yang munkar dan harus dihentikan? Jawabnya tentu tidak. Perayaan maulid sebagai hal bid‟ah (hal baru yang belum dicontohkan oleh rasulullah dan sahabat) merupakan kategori bid‟ah hasanah. Dan perlu digaris bawahi bahwa merayakan maulid bukanlah suatu kewajiban agama apalagi bentuk peribadatan.

Mayoritas ulama sejak dahulu telah mengakui adanya bid‟ah hasanah. Misalnya pendapat Imam asy-Syafi‟I yang mengatakan bahwa ada dua macam bid‟ah: bid‟ah yang menyalahi al-Qur‟an, Sunnah, atsar atau ijma‟, maka disebut bid‟ah dhalalah (tersesat), dan bid‟ah dalam kebaikan yang tidak menyalahi hal tersebut, maka disebut bid‟ah hasanah.

Selanjutnya, dalam menjawab tuntutan dalil kebolehan merayakan maulid, maka cukup kiranya dengan merujuk kepada beberapa pendapat para ulama berikut ini.

a.     As-Suyuthi mengatakan : “Menurut saya, bahwa pada dasarnya peringatan maulid- yang terdiri dari berkumpulnya orang-orang, lalu membaca beberapa ayat al-Qur‟an, kemudian membacakan tentang permulaan kisah hidup Nabi SAW, kejadian-kejadian seputar kelahiran beliau, lalu dihidangkan makanan kepada mereka, lalu setelah itu mereka membubarkan diri, tidak lebih dari itu- hal itu adalah bid‟ah hasanah yang diberi pahala atas orang yang melakukannya. Hal itu karena di dalamnya terkandung penghormatan kepada Nabi SAW dan usaha menampakkan kegembiraan dengan kelahiran beliau yang mulia.

b.     Ibnu Hajar al-„Asqalani Masih Dalam kitab al-Hawi lil fatawi, as-Suyuthi mengatakan bahwa Ibnu Hajar al- „Asqalani mempunyai dalil yag kuat terkait maulid. Ibnu hajar mendasarkan perayaan maulid kepada hadits Bukhari dan Muslim yang menceritakan bahwa ketika Nabi Muhammad SAW datang ke Madinah, ia dapati orang yahudi berpuasa pada tanggal 10 Muharram. Maka nabi bertanya kepada mereka tentang hal itu. Mereka menjawab: “ini adalah hari dimana Allah menenggelamkan Fir‟aun dan menyelamatkan Musa AS. Maka kami berpuasa untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Allah.” Lalu Nabi SAW bersabda: “kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.” Dari hadits tersebut Ibnu Hajar menyimpulkan kebolehan melakukan suatu kebaikan sebagai wujud rasa syukur atas karunia Allah pada hari tertentu baik karena menerima suatu pemberian atau terhindar dari bahaya. Hingga Ibnu Hajar berkata: “dan nikmat manakah yang lebih agung daripada kelahiran Sang Nabi pembawa rahmat pada hari itu?”

Selain itu, Muhammad bin Alawi al-Maliki dalam kitabnya, Haul al-Ihtifal bi Dzikri al Maulid an-Nabi asy-Syarif, mengungkapkan alasan dibolehkannya mengadakan pringatan maulid nabi, yaitu,

a.     Peringatan Maulid Nabi SAW adalah ungkapan kegembiraan dan kesenangan dengan beliau. Bahkan orang kafir saja mendapatkan manfaat dengan kegembiraan itu. Ketika Tsuwaibah, budak perempuan Abu Lahab, paman Nabi, menyampaikan berita gembira tentang kelahiran Muhammad, Abu Lahab pun memerdekakannya sebagai tanda suka cita. Dan karena kegembiraannya, kelak di alam baqa‟ siksa atas dirinya diringankan setiap hari Senin tiba. Demikianlah rahmat Allah terhadap siapa pun yang bergembira atas kelahiran nabi, termasuk juga terhadap orang kafir sekalipun. Maka jika kepada seorang yang kafir pun Allah merahmati, karena kegembiraannya atas kelahiran Sang Nabi, bagaimanakah kiranya anugerah Allah bagi umatnya yang mana iman selalu ada di hatinya?

b.     Nabi Muhammad SAW sendiri mengagungkan hari kelahirannya dan bersyukur kepada Allah pada hari itu atas nikmat-Nya yang terbesar kepadanya.

c.     Peringatan maulid Nabi SAW mendorong orang untuk membaca shalawat, dan shalawat itu diperintahkan oleh Allah Ta‟ala, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuknya dan ucapkanlah salam sejahtera kepadanya.” (QS Al-Ahzab[33]: 56). Apa saja yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu yang dituntut oleh syariat‟, berarti hal itu juga dituntut oleh syariat‟. Sangat banyak manfaat dan anugerah yang diperoleh dengan membacakan salam kepadanya.

d.     Peringatan maulid merupakan ungkapan jasa beliau dengan menunaikan sebagian kewajiban kita kepada beliau dengan menjelaskan sifat-sifatnya yang sempurna dan akhlaqnya yang utama. Dulu, di masa nabi, para penyair datang kepadanya melantunkan qashidah-qashidah yang memujinya. Nabi ridha (senang) dengan apa yang mereka lakukan dan memberikan balasan kepada mereka dengan kebaikan-kebaikan. Jika beliau ridha dengan orang yang memujinya, bagaimana beliau tidak ridha dengan orang yang mengumpulkan keterangan tentang perangai-perangai beliau yang mulia. Hal itu juga mendekatkan diri kita kepada beliau, yakni dengan manarik kecintaannya dan keridhaannya.

e.     Dalam ucapan Nabi SAW tentang keutamaan hari Jum‟at, disebutkan bahwa salah satu di antaranya adalah, “Pada hari itu Adam diciptakan,” Hal itu menunjukkan dimuliakan-nya waktu ketika seorang nabi dilahirkan. Maka bagaimana dengan hari dilahirkannya nabi yang paling utama dan rasul yang paling mulia?

f.      Tidak semua hal yang tidak pernah dilakukan para salaf dan tidak ada di awal Islam berarti bid‟ah yang munkar dan buruk, yang haram untuk dilakukan dan wajib untuk ditentang. Melainkan apa yang “baru” itu (yang belum pernah dilakukan) harus dinilai berdasarkan dalil-dalil syariat.

g.     Peringatan maulid nabi, meskipun tidak ada di zaman Rasulullah SAW, sehingga merupakan bid‟ah,bid’ah disini adalah bid‟ah hasanah (bid‟ah yang baik), karena ia tercakup di dalam dalil-dalil syariat dan kaidah-kaidah kulliyyah (yang bersifat global). Jadi, peringatan Maulid itu bid‟ah jika hanya dipandang bentuknya, bukan perincian-perincian amalan yang terdapat di dalamnya (sebagaimana terdapat dalam dalil kedua belas), karena amalan-amalan itu juga ada di masa Nabi.

h.     Semua yang tidak ada pada awal masa Islam dalam bentuknya tetapi perincian-perincinan amalnya ada, juga dituntut oleh syariat. Karena apa yang tersusun dari hal-hal yang berasal dari syariat pun dituntut oleh syariat.

i.      Semua yang disebutkan tentang dibolehkannya peringatan maulid Nabi SAW secara syariat, hanyalah pada peringatan-peringatan yang tidak disertai perbuatan-perbuatan mungkar yang tercela yang wajib ditentang. Adapun jika peringatan maulid mengandung hal-hal yang disertai sesuatu yang wajib diingkari, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, dilakukannya perbuatanperbuatan yang terlarang, dan banyaknya pemborosan dan perbuatan-perbuatan lain yang tak diridhai, tak diragukan lagi bahwa itu diharamkan. Tetapi keharamannya itu bukan pada peringatan maulidnya itu sendiri, melainkan pada hal-hal yang terlarang tersebut.

Alasan Kelompok yang Menolak Peringatan Maulid dan Jawabannya

Beberapa pernyataan dan tuduhan yang dijadikan alasan menolak perayaan maulid nabi antara lain:

a.     Hari kelahiran Nabi Muhammad SAW belum dapat dipastikan pada hari Senin 12 Rabi‟ul Awwal karena adanya perbedaan pendapat. Sehingga menentukan acara pada 12 Rabi‟ul Awwal tidak ada dasarnya dari segi historis. Hal ini dijawab oleh Muhammad bin Alawi dengan perkataannya: “Kami merayakan maulid Nabi Muhammad SAW selalu dan selamanya di setiap waktu dan disetiap kesempatan yang mana ada kegembiraan, kebahagiaan dan semangat. Lebihlebih pada bulan kelahirannya.”.

Dalam buku yang sama, ia juga mengatakan bahwa memang sebaiknya berbuat kebaikan seperti sedekah dan lainnya itu tidak khusus pada hari kelahiran nabi saja, tetapi di segala waktu dan kesempatan.

b.     Merayakan maulid sama dengan mengadakan „Id/ hari raya baru selain hari raya, Fithri dan adhha.

Secara bahasa „Id artinya hari raya. Sudah diketahui bahwa hari raya dalam syari‟at Islam hanya ada dua yaitu Idul fithri dan adhha. Kalaupun ada selain dua hari itu diistilahkan sebagai “Id” maka hal itu adalah id dalam arti bahasa. Dan bukan berarti menambahkan hari raya dalam syari‟at Islam. Dalam hadits riwayat ath-Thabarani Ibnu Abbas mengatakan bahwa QS. Al-Maidah[5]: 114, itu turun pada dua hari „Id yaitu hari Jumat dan hari arafah. Tentu di sini kata id adalah dalam arti bahasanya dan bukan hari raya seperti Idul Fithri dan Idul Adhha

c.     Merayakan maulid sama halnya dengan menambah-nambahi syari‟at yang sudah sempurna, sehingga bertentangan dengan firman Allah surat al-Ma`idah [5]:6. Seandainya perayaan maulid itu adalah suatu kebaikan, niscaya telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.

Alasan ini cacat sebab tidak seorangpun dari kalangan awam maupun ulama yang berkeyakinan seperti itu. Kemudian tidak setiap hal yang tidak dilakukan oleh Nabi dan salaf, lalu dilaksanakan oleh generasi setelahnya merupakan penyempurnaan terhadap agama dan penambahan syari‟at. Jika memang demikian maka apa gunanya bab ijtihad?

d.     Perayaan maulid adalah bid‟ah sesat yang diadakan oleh kaum rofidhah/syi‟ah, sebab yang pertama kali merayakan maulid adalah orang-orang Daulah Fathimiyyah dan mereka ini dari golongan orang zindiq (atheis), merupakan anak cucu abdullah bin saba‟.

Alasan ini merupakan pengaburan sejarah. Sebagaimana penjelasan yang lewat, bahwa yang mengadakan maulid pertama kali menurut as-Suyuthi dan beberapa ulama adalah Raja Mudzaffar, dan dia adalah orang yang dipuji oleh para ulama tarikh. Bahkan Muhammad bin Alawi berpendapat bahwa yang pertama kali merayakan hari kelahiran adalah justru Nabi Muhammad SAW sendiri. Ini berdasarkaan hadits yang menyatakan bahwa nabi berpuasa pada hari senin karena hari itu adalah hari kelahirannya

Sebenarnya banyak lagi berbagai alasan dan argumen yang digunakan untuk menghapus tradisi yang telah berlangsung berabad-abad ini. Hanya saja sebagian besar diantaranya lebih berdasar atas buruk sangka dan ketidaktahuan akan hakikat perayaan maulid. Sebagian diantaranya malah merupakan tuduhan tanpa fakta. Meskipun tidak dapat dipungkiri kemungkinan adanya sebagian umat islam yang merayakan maulid dengan cara tidak benar. Maka yang perlu diluruskan adalah perbuatan itu dan bukan dengan cara pukul rata masalah.

Kesimpulan dari kontroversi mengenai bid'ah dalam perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW menunjukkan adanya perbedaan pandangan di kalangan umat Islam yang berakar dari interpretasi ajaran Islam yang berbeda. Dalam menggali kontroversi ini, penting bagi umat Islam untuk menghargai perbedaan pendapat dan menjalani dialog yang konstruktif. Meskipun terdapat perbedaan pandangan mengenai perayaan Maulid dan pengertian tentang bid'ah, upaya untuk saling memahami dan menghormati pendapat orang lain adalah langkah penting dalam menjaga persatuan dan keharmonisan L”dalam komunitas Muslim. Dengan demikian, perdebatan ini dapat menjadi sarana untuk memperdalam pemahaman agama dan meningkatkan kecintaan terhadap Nabi Muhammad SAW tanpa mengabaikan prinsip-prinsip dasar Islam.

Daftar Pustaka

Nur Azah, D., & Nurhayati, S. (2024). Menggali Kontroversi Bid’ah Dalam Maulid Nabi 

0Komentar

Tambahkan komentar
adsvert
adsvert
adsvert
adsvert

Info

  • Street 22, I-11/2, Islamabad
  • +6285236829649
  • pcinupakistan@gmail.com