GfY5TUW6BSClGfM9BSClBSzo
  • Default Language
  • Arabic
  • Basque
  • Bengali
  • Bulgaria
  • Catalan
  • Croatian
  • Czech
  • Chinese
  • Danish
  • Dutch
  • English (UK)
  • English (US)
  • Estonian
  • Filipino
  • Finnish
  • French
  • German
  • Greek
  • Hindi
  • Hungarian
  • Icelandic
  • Indonesian
  • Italian
  • Japanese
  • Kannada
  • Korean
  • Latvian
  • Lithuanian
  • Malay
  • Norwegian
  • Polish
  • Portugal
  • Romanian
  • Russian
  • Serbian
  • Taiwan
  • Slovak
  • Slovenian
  • liish
  • Swahili
  • Swedish
  • Tamil
  • Thailand
  • Ukrainian
  • Urdu
  • Vietnamese
  • Welsh
Anda cari apa?

Polemik Ucapan Selamat Natal

  Salah satu silih pendapat atau al-majal al-ikhtilafiy di kalangan umat Islam yang selalu “hangat” setiap akhir tahun adalah pembicaraan hukum kebolehan mengucapkan selamat natal atau mengucapkan selamat kepada hari raya orang yang berbeda agama. Fenomena ini awalnya hanya terjadi di negara atau kalangan masyarakat yang hidup berdampingan dengan agama lain. Namun berkembang menjadi sebuah pembahasan menarik di setiap negara. 

Tentu harmonisasi bermuamalah dengan mereka yang berbeda agama menjadi suatu kewajiban sebagai seorang Muslim walaupun berbeda secara akidah. Sebagaimana juga Rasulullah ajarkan. Seperti Nabi mengizinkan Kristiani Najran untuk melaksanakan ibadah di Masjid Nabawi. Nabi juga memberikan jaminan keamanan dan hak beribadah kepada Yahudi, serta memenuhi undangan makan dari tetangga Yahudi, menunjukkan bahwa kebaikan bersumber dari kemanusiaan dan tidak terbatas oleh perbedaan agama. Bahkan Nabi juga berdiri saat jenazah Yahudi lewat sebagai penghormatan kemanusiaan dan menerima hadiah dari non-Muslim. 

Dalam hukum mengucapkan selamat natal terjadi perbedaan pandangan yang “alot”. Sebagian golongan berpandangan mengucapkan “selamat natal” itu haram namun sebagian lainnya mengatakan boleh-boleh saja. Perlu diketahui, terjadinya persoalan ini tidak lepas dari dua alasan utama. Alasan pertama, yang membolehkan mereka menganggap ucapan ini masih pada ranah sosial. Alasan kedua, mereka yang mengharamkan mengatakan ini sudah masuk pada ranah akidah. Ranah sosial dan akidah tentu berbeda. Ranah sosial mengatur manusia hidup berdampingan (selain dalam hal peribadahan). Ranah akidah mengatur manusia hidup masing-masing dalam peribadahan pada Tuhan tanpa mengganggu satu sama lain. Namun batasan ranah sosial dan ranah akidah pun masih dalam kategori perbedaan pendapat. Salah satu contohnya pada kasus ini.


Golongan yang mengatakan pengucapan ini adalah ranah akidah, mereka tentu mengharamkan pengucapan ini karena pengucapan ini dianggap berdampak sekaligus kepada kepercayaan dan keyakinan mereka bahkan dapat membatalkan syahadat. Mereka umumnya berargumen dengan Hadits Nabi Muhammad SAW,


‎مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Artinya: "Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka." (H.R. Abu Dawud).

Begitu juga pada firman Allah, 

(Surat Al-Kafirun ayat 6)

Terjemahan: ”Untukmu agamamu, untukku agamaku”

Dari Ayat dan Hadits inilah yang menjadi dasar pengharaman pengucapan tersebut karena dianggap mengikuti budaya dan peribadahan mereka. Dan pada hal peribadahan tentu tentu tidak ada toleransi dalam artian hibadah tidak boleh di campur aduk. 

Sedangkan golongan yang mengatakan pengucapan ini sebagai ranah sosial, maka ini lah yang menjadikan hukum mengucapkannya boleh-boleh saja. Mereka umumnya merujuk pada surat al-Mumtahanah ayat ke-8, Allah SWT berfirman,

‎لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ ٨ 

Terjemah: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (Q.S. al-Mumtahanah: 8)

Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa tidak adanya pelarangan untuk berbuat baik dalam lingkup sosial diantara manusia yang tidak memerangi atau berbuat jahat, baik ia yahudi, nasrani maupun yang lainnya. Atas dasar ini terdapat segolongan ulama memperbolehkan pengucapan tersebut namun dengan syarat bertujuan untuk menjaga keharmonisan hubungan diantara manusia dalam berbangsa dan bernegara, tanpa membawa aqidah (mempercayai kepercayaan mereka) dan mengikuti peribadahannya. Ini sekaligus menjadi argumen “aqli” untuk mereka, bahwa pengucapan hanya sebatas ranah hormonisasi hubungan antar manusia bukan untuk mempercayai ritual agama mereka. Maka tidak perlu “heran” dan “kaget” ketika ada ulama besar yang memperbolehkan pengucapan ini. Salah satu ulama besar dunia yang membolehkan bahkan mewajibkan pengucapan ini sebagai “wajib insani” adalah Grand Syeikh Azhar Ahmad Tayyeb. Beliau dalam fatwanya mengatakan:

‎تهنئة لعيد غير المسلم واجب إنساني ورسالة سلام ومحبة وأخوة، وأن الإسلام يدعو إلى البر والإنصاف مع غير المسلمين المسالمين، وأن من يحرم التهنئة لا يفقه الإسلام، وأن المسيحي مواطن كامل في وطنه.

Grand Syeikh Azhar mengungkapkan bahwa pengucapan itu bahkan menjadi kewajiban secara kemanusian karena mereka adalah penduduk yang sama-sama membangun negara (mawatin kamil) di tengah umat Islam dan agama Islam sangat mengajarkan harmonisasi hubungan diantara manusia, bukan hanya terbatas kaum muslim. Syeikh berargumen demikian karena melihat dakwah Islam yang rahmatal lil ‘alamin dalam artian membawa kedamaian dan kesejukan untuk alam semesta ini. Bahkan, menjadi dakwah Islam terbaik. 

Namun berbeda halnya di kalangan ulama khususnya di Saudi, sebagian masih berpegang teguh pada pendapat pertama yang mengharamkan. Namun pendapat ulama terbaru saat ini membolehkan pengucapan tersebut. Berikut kalimat mereka:

ابن عثيمين والعريفي يرون أن تهنئة النصارى بأعيادهم (مثل الكريسماس) محرمة شرعاً، لأنها تهنئة بشعائر الكفر ومشاركة لهم في باطلهم، ويستندون إلى نصوص شرعية تحذر من مشابهة الكفار. و وُجد الموقف الحديث إلى التجويز والتسامح. محمد بن سلمان يرى صرح بأنه لا مانع من تهنئة الأعياد أو الاحتفال بها، في إطار رؤية حديثة للإسلام تسمح بالتنوع. و محمد عبد الكريم العيسى أكد أنه لا يوجد نص شرعي يمنع تهنئة غير المسلمين بأعيادهم، مشيراً إلى أن الموقف الرسمي شهد تطوراً في هذا الجانب.

Syeikh Ibnu Utsaimin memandang bahwa pengucapan selamat natal dikategorikan haram karena masuk ranah akidah dan mempercayai ritual ibadah mereka. Namun fatwa terbaru dari Muhammad bin Salam dan juga Syeikh Dr. Muhammad Abdul Karim Al-Issa (Mantan Sekretaris Jenderal Liga Dunia Muslim) membolehkan pengucapan ini karena sebagai bentuk toleransi beragama se-tanah air seperti ucapan “kullu ‘aamin wa antum bikhoirin” dan tidak ada nash secara syar’i yang melarang.

Sebagai kesimpulan, terjadi beda pendapat dalam hukum pengucapan selamat kepada hari raya agama lain. Baik pendapat yang melarang maupun yang membolehkan memiliki dalil yang kuat dan argumen yang berdasar. Rujukan dan ketentuan tersendiri yang boleh jadi sama kuat dan setiap manusia diberi kebebasan untuk memilih dan berpendapat. Dengan ini mengajarkan manusia untuk tidak “buru-buru” menyalahkan yang lain yang berbeda lalu mentuhankan pendapat sendiri. Penulis hanya mengungkapkan penelitian argumen dari kedua sisi. Dan ingat, setiap manusia akan mengindahkan pandangannya sendiri. Perbedaan ini sangat wajar, yang tidak wajar adalah yang tak dewasa dalam menyikapinya bahkan senang untuk memberi “label” saudara sendiri. Manusia berhak setuju atau tidak setuju dalam lingkup khilafiyyah, namun tetap sejuk dalam cinta diantara manusia.

Penulis : M .Riyadi Lubis ( Mahasiswa aktif S2 Internasional Islamic University Islamabad

0Komentar

Tambahkan komentar
adsvert
adsvert
adsvert
adsvert

Info

  • Street 22, I-11/2, Islamabad
  • +6285236829649
  • pcinupakistan@gmail.com